Ø
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat
berbahaya pada anak anak disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae.
Ø Gejala utama dari
penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran
yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran
sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama
di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga
menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena
menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf.
Pseudomembran |
Ø Menurut tingkat
keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tin
- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Ø Disamping itu,
penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
-
Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus
yang bercampur darah.
-
Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini
juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga
mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
-
Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak,
nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
-
Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip
sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun
tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.
Gejala Difteri |
Ø Bila ada anak yang
sakit dan ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah
sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah
sakit untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di
rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital
penderita untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Ø Dengan pengobatan
yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari
Ø Walaupun sangat
berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan cara
menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan
imunisasi.
Ø Pencegahan terhadap
difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, yang dapat dimulai pada
saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun DT . Imunisasi dasar
diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6-8 minggu.
Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun
setelah ulangan yang pertama.
TATALAKSANA
1. Antibiotika
• Penicillin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitif, bila penderita sensitif terhadap penicillin dapat digunakan erythromycin. Lama pemberian selama 7 hari, pada golongan erithromycin dapat digunakan selama 7 -10 hari.
• Penggunaan antibiotika bukan bertujuan untuk membanteras toxin, ataupun membantu kerja antitoxin, tetapi untuk membunuh kuman penyebab, sehingga produksi toxin oleh kuman berhenti.
2. Antitoxin [ ADS]
• Antitoxinyangdigunakanadalahyangberasaldaribinatang,yaitudariserumkuda.Sebelumdigunakanharus terlebih dahulu dilakukan test.
• Test sensitivitas terhadap antitoxin serum kuda dilakukan dengan cara:
• 0,1ml antitoxin yang telah diencerkan 1:1000 dalam larutan garam, diberikanI.C.dan diteteskan pada mata. Reaksi dikatakan positif bila dalam waktu 20 menit dijumpai erythema dengan diameter>10 mm pada bekas tempat suntikan,atau pada test mata dijumpai adanya conjunctivitis dan pengeluaran air mata.
• Bila hal ini dijumpai, pemberian dapat dilakukan dengan metoda desensitisasi, Salah satu cara yang digunakan adalah:
1. 0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
2. 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara S.C.
3. 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi 5acara S.C.
4. 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara S.C.
5. 0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
6. 0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara I.M.
7. 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara I.V.
• Bila tidak dijumpai reaksi, sisa dari antitoxin dapat diberikan secara perlahan melalui infus. Bila dijumpai reaksi dari pemberian antitoxin, harus segera diobati dengan pemberian epinephrine [1:1000] secara I.V.
• ADS diberikan dengan dosis 40.000 u dalam larutan 200 ml NaCl fisiologis diberikan per-infus dan pemberian diselesaikan dalam waktu 30-45menit.
3.Kortikosteroid
• Penggunaan kortikosteroid pada keadaan tertentu, seperti bila ada tanda miokarditis, dan pada laryngeal ataupun nasopharyngeal diphtheria.
4.Rawatan penunjang
• Penderita harus dalam keadaan istirahat karenaditakutkan terjadinya miokarditis [minggu ke2-atau lebih]. Serial EKG perlu dilakukan secara seri untuk mendeteksi secara dini tanda-tanda miokarditis.
• Pemberian, cairan harus cukup untuk mencegah dehidrasi, berikan kalori yang tinggi dengan makanan yang cair.
• Pada laryngeal diphtheria tindakan tracheostomi perlu dilakukan untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas.
• Digitalis boleh diberikan bila ada tanda-tanda payah jantung, tetapi kontraindikasi bila ada aritmia jantung.
• Bila ada paralyse palatum molle dan pharyng, pemasangan polyethylene tube perlu dilakukan untuk mencegah jangan sampai terjadi aspirasi.
Pencegahan
Pencegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun DT . Diberikan 0,5 ml secara I.M., imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6-8 minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang pertama.
Penanganan kontak
• Pencegahan terhadap difteri juga termasuk didalamnya isolasi dari penderita, dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran penyakit ke orang lain. Penderita adalah infectious sampai basil difter tidak dijumpai pada kultur yang diambil dari tempat infeksi.Tigakali berulang kultur negative dibutuhkan sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.
• Kontak yang inti dilakukan kulturdarirongahidungdantenggorokanharusdilakukan.
• Immunized carriers harus diberikan injeksi ulangan dengan difteri toxoid, dan diobati dengan:
1. Procaine penicillin 600.000 u/hari selama 4 hari.
2. Benzathine penicillin 600.000 u, I.M. dosis tunggal atau
3. Erythromycine, 40 mg/kg BB/24 jam, diberikan selama 7 -10 hari.
4. Nonimmunized asymptomatic carriers harus dilakukan:
5. Pemberian difteri toxoid dan penicillin
6. Dilakukan pemeriksaan setiap harinya oleh dokter,
7. Bila ini tidak dapat dilaksanakan, pemberian ADS 10.000 u harus dilakukan.
• Bila kontak telah menunjukkan gejala, pengobatan seperti penderita difteri harus dilaksanakan.
• Terapi profilaksis dengan pemberian difteri toxoid, penicillin,dan bila ada indikasi, diberikan antitoxin harus dilaksanakan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu menunggu hasil kultur.
Source : Berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar